Kiriman email dari Kebun Karinda:
djamaludinsuryo@yahoo.comKebun Karinda Keluarga Djamaludin Suryo Oleh: Sri Murniati Djamaludin, Pengelola Kebun Karinda Mr. Koji Takakura memperoleh Hak Cipta No. P00200600206 untuk Proses Pengomposan Sampah Organik Metode Takakura Skala Rumah Tangga.
Bagaimana dengan rumah tangga lebih besar seperti asrama, warung makan, warteg, katering rumahan? Mr. Koji Takakura telah memperoleh Hak Cipta (HAKI) No. P00200600206 untuk Proses Pengomposan Sampah Organik Metode Takakura Skala Rumah Tangga atau dikenal dengan Takakura Home Method.
Melalui LSM Pusdakota Surabaya, unit komposter Takakura atau yang akrab disebut Keranjang Takakura makin dikenal tidak hanya di Surabaya tetapi telah menyebar ke berbagai kota di Indonesia. Pengomposan dengan Keranjang Takakura ini cocok untuk rumah tangga yang beranggota keluarga 4-7 orang karena berukuran sekitar 40cm x 25cm x70cm.
Bagaimana dengan rumah tangga yang lebih besar seperti asrama, atau warung makan atau warteg, katering rumahan? Kebun Karinda mengembangkan Drum Takakura.
Pada awalnya kami menampung pertanyaan-pertanyaan dari peserta pelatihan yang mempunyai masalah dengan banyaknya sampah organik yang terkumpul setiap hari. Tentu kami ingin mencarikan solusinya, sayang jika sampah organik yang banyak dibuang. Akhirnya kami temukan jawabannya yaitu dengan Drum Takakura.
Setiap pagi kami berolah raga jalan pagi melalui “pasar pagi” yaitu sekumpulan tukang sayur yang mangkal di bulevard perumahan Bumi Karang Indah di Jakarta Selatan setiap hari dari pukul 6 sampai pukul 11. Kami melihat kegiatan mereka yang menghasilkan sampah organik segar berasal dari sortiran sayuran untuk menjadi layak jual dan sisa yang tidak terjual. Jumlahnya cukup banyak, sekitar 10-12 kg dari 7 tukang sayur.
Dalam pikiran kami muncul ide untuk mengubah sampah ini menjadi “uang”. Tetapi lahan di Kebun Karinda sempit, sudah penuh dengan berbagai model bak pengomposan untuk sampah daun. Kemudian kami mencoba menggunakan drum besi bekas yang sudah dipotong menjadi dua bagian sehingga volumenya menjadi 100 L. Harga drum bekas tanpa tutup Rp.35.000, biasanya digunakan untuk pot.
Agar memenuhi syarat sebagai wadah pengomposan metode Takakura, bagian bawah dan samping diberi beberapa lubang dengan bor. Untuk alas dan “selimut” dibuatkan bantalan sabut dengan ukuran 70cm x 70cm. Dinding bagian dalam dilapisi dengan kardus yang dilipat keluar dan diikat dengan tali rafia sehingga tidak bergerak jika kompos diaduk. Sebagai aktivator padat digunakan kompos setengah matang dari keranjang Takakura yang sudah penuh (15-20kg).
Sebelum dimasukkan drum, sampah dicacah atau dirajang dengan pisau kemudian dicampur dengan serbuk gergaji untuk menambahkan “sampah coklat” yang mengandung unsur karbon. Sampah ini tidak boleh tercampur dengan kulit udang, sisik dan isi perut ikan karena akan menimbulkan bau.
Sangat menakjubkan bahwa adonan kompos menjadi sangat panas, jika diukur dengan termometer bisa mencapai 60°C dan keluar uap air berkepul-kepul seperti kalau kita menanak nasi. Tidak ada bau busuk, yang tercium hanya bau agak asam karena proses fermentasi.
Setiap hari sampah baru dimasukkan dan diaaduk sampai ke dasar drum sehingga tercampur rata. Sampah baru akan difermentasikan oleh mikroba kompos. Volume akan menyusut karena sayuran banyak mengandung air, yang digunakan untuk minum dan penyebaran mikroba kompos.
Oksigen untuk pernapasan mikroba harus cukup, dengan cara mengaduknya setiap kali memasukkan sampah baru. Dalam waktu 30-40 hari drum sudah penuh, tetapi kompos belum seluruhnya matang karena masih ada sampah yang baru. Terlihat masih ada warna hijau di antara warna hitam kompos. Suhunya juga masih panas. Kita harus mematangkan dulu sekitar 2 minggu, sampai seluruh adonan menjadi kompos dan suhu sudah tidak hangat lagi.
Selanjutnya kompos dengan kualitas “super” bisa dipanen, harganya bisa mencapai lebih dari Rp1000/kg. Sekali panen dari satu drum Takakura bisa menghasilkan 60-70 kg kompos.
Untuk melanjutkan pembuatan kompos dari sampah baru, diambil 15 kg adonan kompos yang masih panas (sebelum dimatangkan) dan dipindahkan ke drum Takakura yang baru. Silakan mencoba, Anda bisa “ketagihan” dan bersemangat menjadi penampung sampah organik pasar pagi. Sri Murniati Djamaludin, Pengelola Kebun Karinda Alamat lengkap dan nomor telpon ada dalam Blog ini.
Komposter Takakura 3R JANGAN SEKADAR SLOGAN Pikiran Rakyat, Selisik, 2 Februari 2009, Handri Handriansyah
Persoalan sampah adalah persoalan bersama yang harus diatasi secara sinergis oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Ia menekankan penanganan sampah dimulai dari produsennya. Seharusnya sampah menjadi tanggung jawab masing-masing. Segera berakhirnya izin pakai lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB), tahun 2018, akan menjadi kendala utama dalam penanganan masalah sampah di Kota Bandung.
Mengingat keterbatasan lahan yang dimiliki kota ini. Adapun rencana penggunaan kawasan Legoknangka di Desa Ciherang, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung yang akan dijadikan TPA bersama, juga masih memiliki kendala. Salah satunya adalah soal biaya pengangkutan sampah. Namun apa daya, Kota Bandung tidak memiliki lahan lagi untuk dijadikan TPA. Sejak lama, banyak pihak memperkirakan bakal muncul masalah dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung.
Sistem TPA dianggap tidak lagi sesuai untuk menangani masalah sampah. Berbagai alternatif solusi pun bermunculan, mulai dari penerapan sistem 3R (reduce, reuse, recycle), pembuatan kompos, sampai pengolahan sampah menjadi energi listrik. PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL), sebuah perusahaan swasta, menawarkan pemecahan masalah sampah di Kota Bandung dengan usulan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).
Munculnya ide itu bukannya tanpa pertimbangan. Menurut Direktur PT BRIL, Yoseph Soenaryo, pihaknya dan pemerintah Kota Bandung pada awalnya tidak hanya berpikir mengenai PLTSa sebagai solusi masalah sampah Kota Bandung. "Kami sempat mempertimbangkan sistem 3R, pembuatan kompos, dan pembuatan pupuk organik. Semua sudah dipikirkan kelebihan dan kekurangannya," kata Yoseph di Bandung, Sabtu (31/1).
Prinsip 3R, kata Yoseph, memang masih dianggap paling baik, karena bisa membuat orang memberdayakan sesuatu yang sudah tidak digunakan agar dapat digunakan kembali. Namun, pada praktiknya, penerapan 3R memerlukan kesadaran tinggi dari seluruh masyarakat dan harus menjadi suatu budaya. "Untuk membudayakan sesuatu memerlukan waktu sangat lama, sedangkan sampah kita saat ini terus menumpuk," tuturnya.
Sementara itu, untuk mengolah sampah menjadi pupuk organik memerlukan teknologi tinggi yang biaya investasinya terlampau besar. Dari sudut pandang lain, komposisi sampah Kota Bandung juga tidak mendukung untuk bisa menghasilkan pupuk organik. "Hal itu juga berlaku untuk pembuatan kompos, terlebih teknologi pembuatan kompos paling modern, paling cepat memerlukan waktu 15 hari. Artinya, kita memerlukan lahan tetap untuk menampung sampah yang terkumpul selama 16 hari. Belum lagi masalah pemasaran kompos yang dihasilkan," ujar Yoseph menjelaskan.
Dari semua pertimbangan tersebut, akhirnya PT BRIL dan pemerintah Kota Bandung menetapkan PLTSa sebagai solusi terbaik dalam memecahkan masalah sampah. Keputusan tersebut dinilai sebagai langkah yang wajar oleh pakar lingkungan dari Pusat Rekayasa Industri, Institut Teknologi Bandung (ITB), Ari Darmawan Pasek. Menurut Ari, setiap kota/kabupaten pasti memiliki pertimbangan tersendiri dalam penentuan solusi persampahan mereka, sesuai dengan kondisi yang ada.
Tanpa mengesampingkan pertimbangan tersebut, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin Supardiyono menilai, persoalan sampah adalah persoalan bersama yang harus diatasi secara sinergis oleh pemerintah, instansi terkait, dan masyarakat. Untuk itu, ia lebih menekankan penanganan sampah yang dimulai dari produsennya masing-masing.
"Kita bicara dalam konteks rumah tangga di masyarakat yang menjadi sumber awal produksi sampah. Seharusnya sampah menjadi tanggung jawab masing-masing," tuturnya. Menurut Sobirin, berat sampah yang diproduksi di Kota Bandung saat ini sudah hampir menyamai berat 1.000 ekor gajah. "Jika dibentangkan, sampah plastik tiap harinya bisa menutupi 250 lapangan sepak bola. Kertasnya dibuat bubur kertas dalam jumlah yang mengimbangi jumlah bubur kertas dari 500 batang pohon kayu. Di kota besar lain juga keadaannya tidak jauh berbeda.
Namun, Kota Bandung menjadi spesial dalam masalah sampah karena kondisi geografisnya yang berupa cekungan dan merupakan sentral komunitas manusia," tuturnya. Masalah itu, kata Sobirin, tidak akan selesai jika hampir 90% penduduk Kota Bandung masih tidak peduli dengan sampah masing-masing, seperti sekarang ini. "Mereka hanya berharap sampah diangkut petugas, karena merasa sudah bayar retribusi.
Mereka tidak tahu, kondisi PD Kebersihan kadang tidak ideal. Ada kalanya truk pengangkut mogok karena onderdilnya rusak dan segala macam kendala lain," ujar Sobirin. Ia mengakui, untuk bisa mewujudkan hal ini memang memerlukan proses yang bertahan dalam jangka waktu yang panjang. "Meski banyak yang mengatakan 3R itu hanya slogan, tapi kalau dilaksanakan bisa dilihat hasilnya. Yang penting, ada keyakinan, kesadaran, dan keinginan untuk mendapat keuntungan, kontrak moral, tindakan nyata, dan pembudayaan. Jika itu dipenuhi, saya yakin semua bisa terwujud meskipun menghabiskan waktu satu generasi atau sekitar 30 tahun," tuturnya.
Melihat kondisi sekarang ini, Sobirin menghargai semua rencana yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi sampah yang terus menggunung. Termasuk pembangunan PLTSa sebagai pengganti TPA. "Tetapi kita tidak akan pernah tahu PLTSa itu bagus atau tidak jika tidak dicoba dalam skala kecil. Kalau memang hasilnya bagus, perlihatkan kepada masyarakat dan teruskan. Jika tidak, ya harus dihentikan," ujarnya. Mengenai kemungkinan uji coba PLTSa skala kecil, Yoseph mengatakan bahwa keputusannya ada di tangan pemerintah. Namun, untuk pelaksanaannya, perlu investasi mati layaknya untuk membangun jalan minimal Rp 35 miliar. "Investasi PLTSa bukanlah investasi bisnis yang menguntungkan. Untuk skala kecil, investasi jelas tidak akan kembali.
Namun, sebenarnya kita tidak perlu ragu dan mencoba dalam skala kecil. Toh skala besar yang sudah ada di luar negeri sudah terbukti memang baik dan berjalan tanpa gangguan," ungkapnya. Ketika ditanya mengenai keuntungan yang akan didapatnya sebagai pengelola PLTSa nantinya, Yoseph tidak memungkiri keuntungan itu memang ada meski jumlahnya tidak besar. Untuk PLTSa Gedebage dengan kapasitas produksi 500 ton sampah/hari dan menghasilkan sekitar 6 mw energi listrik, PT BRIL harus mengeluarkan investasi sedikitnya Rp 300 miliar (perhitungan 2005).
Menurut Yoseph, dari pemasukan biaya pengolahan sampah dan hasil penjualan listrik yang dihasilkan, investasi tersebut baru akan kembali dalam waktu 12-15 tahun. "Oleh karena itu kami meminta waktu pengelolaan 20 tahun. Itu kan lama dan untungnya tidak seberapa. Namun, ini bukan semata bisnis, tapi bentuk kepedulian kami sebagai warga Bandung terhadap masalah sampah. Jika menghitung untung-rugi, masih banyak investasi yang lebih menguntungkan," ujar Yoseph. (Handri Handriansyah/"PR")
Mari Ber - "Zero Waste"